Monday, February 11, 2008

Antara Rekreasi dan Simulasi Pemberontakan

Selamat datang, Dunia

Lama aku nggak update blog ini; sepuluh hari sudah. Sori, yah! Proyek baru selesai, dan aku juga membuat blog baru berorientasi berita teknologi web. Kamu bisa lihat di sini. Onwards...

Aku bukan orang yang menentang seks bebas, walau bukan orang yang menjalani hidup semacam itu. Namun yang sering membuatku geli, adalah orang-orang yang masih beranggapan bahwa kehidupan seks bebas itu tindakan revolusi. Sementara memang benar bahwa seks bebas itu melanggar berbagai norma resmi di masyarakat, kurasa millenium ini sudah bukan saatnya lagi menggembar-gemborkan free love as a revolutionary agent. Pun bukan saatnya blak-blakan menentang segala yang ada -- itu sudah jadi klise pasar.

Ya, era hippies sudah lewat. Lihat aja basis free love yang dilakukan sekarang. Media massa. Iklan. Fashion dan hiburan yang kian hypersexualized. Masyarakat yang terus didorong untuk meminta, mencitrakan, dan mempertontonkan seksualitas yang kian ekstrim di usia yang makin muda dan makin mengobyektifikasi dan mengkomodifikasi tubuh. Dan perang, pelecehan, dan diskriminasi terus terjadi, bahkan lebih parah. John Lennon pun akan berpikir empat kali sebelum mempromosikan free love jika ia masih hidup sekarang.

Aku orang yang praktis -- tak pernah aku keberatan suatu hal yang dilakukan orang lain dengan alasan keyakinanku pribadi. Jadi, aku hanya keberatan orang yang gembar-gembor seksualitasnya namun berani mengatakan dirinya kritis dan peka terhadap dominasi budaya. Seks pasaran itu peranti kapital; apa artinya menentang penguasa tapi terus memelihara senjatanya?

Hippies dan berbagai gerakan revolusioner pada jamannya memang masuk akal bila menggunakan seks sebagai gaya hidup anti-kemapanan. Namun kekuatan sudah bergeser, dari negara ke perusahaan. Dan sementara negara mungkin akan terkacaukan dengan seks bebas di sana-sini, perusahaan justru makin punya alat manipulasi -- dan sesuatu untuk dipasarkan!

Menurutku kejadiannya sama dengan punk dan berbagai subkultur anti-kapitalis lain. Mengutip Naomi Klein, kapitalisme sama sekali nggak takut sama yang namanya pemberontakan DIY dan sejenisnya -- justru, ia diam-diam curi-curi pandang karena naksir sama semuanya. Dan, guess what, ternyata semuanya nerima waktu ditembak!

Yang sedang kucoba katakan padamu, Dunia, adalah betapa banyaknya orang-orang yang sudah dibujuk menjalani hidup yang seperti ini atau itu demi merasa mereka sedang melakukan suatu perlawanan atau pemberontakan, padahal mereka justru sedang dimanfaatkan oleh kekuasaan itu demi mempertahankan status quo. Kaya kata Zizek, "mari kita semua memberontak agar tak ada yang berubah sama sekali!"

Lalu, masih adakah kemungkinan perlawanan? Is resistance really futile?

Kalau memang melawan secara langsung membuat mereka justru menang, mungkin itu bukan karena mereka dewa kegelapan yang amat kuat -- mungkin saja itu karena dari awal kita lah yang memposisikan diri sebagai kaum yang lebih lemah. Dan pihak dominan yang dari awal menganggap para kontrabudaya itu unik dan menarik akhirnya berhasil mengakuisisi logo-logo dan gaya hidup mereka demi kepentingan pihaknya.

Kalau mau jadi orang yang kritis, jangan terlalu menyibukkan diri dengan berbagai logo, citra, dan gaya hidupmu yang kamu anggap unik dan superior. Pergilah dan lakukan sesuatu. Berekreasilah untuk kepentingan rekreasi, bukan demi citra bahwa kamu telah melakukan sesuatu yang lain.

Selamat berekreasi, Dunia ;)

P.S. Nggak ada lagu kali ini. Lain kali, ya? Tapi ada ucapan selamat ulang tahun pada banyak banget wanita hebat. Mama dan Omaku, 1 Februari -- dua wanita luar biasa yang merupakan alasan diriku menjadi Bonni. Ara, 5 Februari -- kamu bukan seribu bintang, tapi kamu gravitasi misterius yang menggerakkan semua cahaya duniaku; love you always! Maya, 11 Februari -- sahabatku yang super asik, dan penyelamat hari-hari kuliahku; tanpamu mungkin aku sudah D.O. dari dulu karena terlalu banyak tugas dan jadwal yang terlupa ditambah kebosanan yang mendalam! :p Wish you all well!

Friday, February 1, 2008

Boredom is Counterrevolutionary

Selamat datang, Dunia

Seseorang di huru-hara Paris Mei 1968 pernah berkata bahwa rasa bosan adalah kontra-revolusioner. Aku tersenyum setiap kali mendengarnya; what an interesting way to put it!

Betapapun demikian memang jika dilihat, banyak sekali orang yang merasa kebosanan di tengah masyarakat seperti ini. Menjalani hidup yang mekanis, wajar saja. Yang ironis adalah betapa mereka merasa bosan, namun tak melakukan apa-apa yang signifikan untuk mengubahnya. Lucu kan? Padahal, doing the same thing over and over again but expecting a different outcome is a definition of insane.

Why, though? Why does one feel bored? Apa bener ga ada yang bisa dilakukan lagi di masyarakat seperti ini? Menurutku kok justru sebaliknya. Dengan resesi ekonomi Amerika yang diprediksikan, Web 2.0 uprising, trend outsourcing yang makin marak, perdebatan perkara net-neutrality... Daftarnya nggak berujung. Aku menyebutnya Posmodern 2.0, revolusi budaya global yang sedang terjadi ini.

Rasa bosan itu kontra-revolusioner, jika kita tidak menindaklanjutinya. Rasa bosan yang terus dipupuk dan ditoleransi cuma bakal melanggengkan struktur-struktur yang sudah ada, bukan? Banyak orang yang memilih untuk terus bosan demi rasa aman pribadi mereka sendiri. Rela ditindas dan tega menindas demi mengamankan status quo. Bilangnya aja suka petualangan. Padahal, kalau disuruh memilih antara kerja keras dan rasa bosan, yang terakhir yang dipilih. Terlalu banyak orang yang seperti itu.

Instead of these boring times, it's gotta be dramatic,
Until we achieve that, believe in Wonderland!*

Kata orang-orang Mei 1968 itu, mati kelaparan jauh lebih baik daripada mati kebosanan. Sementara aku cukup beruntung hingga tak pernah terlalu kelaparan, aku bisa mengerti poinnya. Bosan, ya? Coba bilang itu sama orang-orang yang kelaparan di Afrika sana. Orang-orang yang mati kebosanan adalah orang-orang egois yang tak berani membuat perubahan apapun dalam hidup mereka.

Kehidupan yang dramatis itu ada di depanmu, kehidupan penuh petualangan di hamparan lautan luas bernama Posmodern 2.0. Memang, itu adalah lautan kejam yang diperuntukkan hanya bagi mereka yang memiliki modal awal yang memadai secara finansial dan intelektual, serta mereka dengan selera petualangan yang cukup tinggi. Namun, jika kau bisa membaca halaman web ini dengan lancar dan masih berpikir kau tak punya modal apapun, kau adalah orang yang tak bisa bersyukur.

Bukankah itu menarik? Bahwa ada prospek akan sebuah Dunia Baru yang lebih netral; sebuah Wonderland. Apa aku terlalu sering membaca komik hingga berpikiran dramatis seperti ini? Jika iya pun, kurasa tak masalah -- setidaknya, aku tak melakukan tindakan kontra-revolusioner bernama "merasa bosan".

Banyak sekali ketimpangan di dunia ini. Seharusnya kau yang membaca ini pun bersyukur karena memiliki akses internet. Ingin bertualang? Tanyakan pada dirimu, apa yang akan kau lakukan jika hanya punya 30 hari lagi untuk hidup. Jawabannya adalah impianmu; takdir hidupmu. Lakukan hal itu dengan tekad yang tak pernah padam. Dan terjunlah ke lautan Posmodern 2.0 untuk menggaungkan suaramu ke seluruh penjuru dunia. Apa yang memberatkanmu?

Selamat bermain-main, Dunia ;)

*kredit lagu: Believe oleh Folder 5 -- soundtrack favoritku dari anime One Piece, salah satu kisah yang telah menyelamatkan hidupku.